Ketika Remaja Tenggelam dalam Kemurungan
Ketika Remaja Tenggelam dalam Kemurungan merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 16 Rabiul Awwal 1447 H / 9 September 2025 M.
Kajian Tentang Ketika Remaja Tenggelam dalam Kemurungan
Berikutnya, salah satu gejala yang perlu diwaspadai pada remaja adalah kehilangan kesenangan secara umum atau kemurungan. Itu merupakan indikasi seseorang tidak bahagia. Ada sesuatu yang membebani dirinya sehingga dia tidak menunjukkan kegembiraan. Mungkin ketika orang-orang di sekitarnya gembira, dia justru murung.
Gejala ini sebenarnya bukan hanya pada remaja, tetapi juga bisa dialami orang dewasa. Ketika kita mendapati anak remaja kehilangan kesenangan secara umum, maka ini harus dipantau. Bisa jadi dia memerlukan bantuan karena ada sesuatu yang sedang menghimpit dirinya.
Mencari hal-hal yang menyenangkan diri merupakan salah satu kebutuhan manusia. Dunia ini memang tempat untuk bersenang-senang. Allah berfirman:
…كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)
Dan Allah juga berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-An’am [6]: 32)
Karena itu, yang perlu dijalani di dunia ini adalah keseimbangan dalam hidup. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mencari waktu-waktu untuk merasakan kegembiraan bersama orang-orang terdekat beliau; bersama istri, anak-anak, dan para sahabat. Beliau pun bercanda.
Namun dalam Islam, bermain-main, bercanda, dan menikmati kesenangan dunia ada batasnya, bukan tanpa batas. Itulah yang membedakan seorang muslim dengan yang lain. Manusia memang membutuhkan hiburan, tidak bisa terus-menerus hidup dengan ketegangan dan beban pikiran.
Maka ambillah waktu untuk beristirahat, menyegarkan pikiran, atau istilah sekarang disebut healing. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melakukan hal itu. Di sela-sela kesibukan beliau mendidik dan membimbing umat, ada waktu yang beliau gunakan bersama istri, bercanda dan bermain bersama mereka.
Mencari hal-hal yang menyenangkan diri merupakan salah satu kebutuhan manusia. Dalam bahasa lain disebut hobi. Semua orang memiliki hobi, sesuatu yang disukai, dan ketika ia menjalani hobinya, ia akan merasa senang. Apalagi jika kewajiban hidupnya berkaitan dengan hobinya, tentu akan lebih membahagiakan.
Manusia ada batasnya. Tidak mungkin terus-menerus mengejar akhirat 24 jam tanpa jeda, itu akan membuat pikiran meledak.
Diriwayatkan bahwa tiga orang datang ke rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi tidak bertemu beliau. Mereka bertemu dengan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha lalu bertanya tentang ibadah Nabi. Setelah mendengar penjelasan Aisyah, mereka menganggap ibadah Nabi sedikit, karena beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Mereka pun merasa perlu beribadah lebih dari Nabi.
Salah seorang berkata, “Aku akan terus salat dan tidak tidur.” Yang lain berkata, “Aku akan terus berpuasa dan tidak berbuka.” Yang ketiga berkata, “Aku tidak akan menikahi wanita karena itu menyibukkan dari akhirat.”
Ketika Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyampaikan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mengumpulkan para sahabat, lalu bersabda:
“Mengapa ada orang yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kalian. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, serta aku menikahi wanita. Barang siapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menikmati makanan seperti manusia lainnya. Dalam hadits disebutkan beliau menyukai manisan, menyukai lauk berupa cuka, tidak pernah menolak jika diberi susu, serta menyukai bagian paha ketika makan daging. Nabi pun berjalan di pasar sebagaimana manusia biasa, meskipun kaum musyrikin mempermasalahkan hal itu.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga manusia biasa yang memiliki kebutuhan. Beliau menikah dan melakukan aktivitas duniawi lainnya sebagaimana manusia pada umumnya. Agama Islam adalah agama fitrah, yang menuntut adanya keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Jika salah memahami hal ini, manusia bisa memaksakan diri hingga akhirnya patah.
Banyak orang yang akhirnya mundur karena berusaha terlalu ketat dalam agama tanpa aturan dan tanpa ilmu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang memberat-beratkan diri dalam agama melainkan ia akan dikalahkan (patah).” (HR. Bukhari)
Lihat: Bab Agama itu Mudah – Hadits 36-39 – Kitab Shahih Bukhari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan contoh bagaimana menjalani kehidupan secara normal seperti manusia pada umumnya. Hanya saja, dalam Islam ada batas-batas yang jelas: halal dan haram, boleh dan tidak boleh. Islam memandang kehidupan dengan seimbang.
Mencari hal-hal yang menyenangkan diri merupakan kebutuhan yang wajar. Memiliki hobi tidak dilarang, asalkan tetap memperhatikan batas-batasnya. Masalah muncul ketika seseorang berlebihan dengan hobinya hingga melampaui syariat.
Setiap manusia memiliki kecenderungan dan keinginan yang berbeda-beda. Dari sini kita bisa melihat kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mengatur rezeki manusia. Karena itu, ada kalanya kita perlu melepaskan kepenatan jiwa. Dalam istilah para ulama disebut istijamun nafs (إستجمام النفس), yaitu memberi kelonggaran jiwa agar tidak terlalu tertekan.
Jika membaca Al-Qur’an dalam keadaan letih hingga bacaan menjadi tidak teratur, lebih baik beristirahat sejenak. Begitu juga ketika shalat dalam kondisi sangat mengantuk atau letih, maka dianjurkan beristirahat dan beralih ke kegiatan lain selama masih dalam batas syariat.
Maka, apabila seseorang sudah tidak mendapatkan kesenangan lagi, murung, dan diam, itu pasti ada sesuatu yang membebaninya. Ia tidak bisa bergembira. Orang seperti ini kadang diajak bercanda pun tidak merespons, tidak bisa ikut dalam kegembiraan. Kecenderungannya adalah menyendiri dan berdiam diri.
Jika hanya sebatas itu mungkin masih bisa dimaklumi. Tetapi jika sampai diam total, tidak mau bicara sama sekali, maka itu tidak dibenarkan dalam Islam. Gejala yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika ia melakukan uzlah tanpa kaidah dan tuntunan syariat. Uzlah tanpa ilmu menjadi penyakit, karena bisa menjerumuskan.
Lihat juga: Meninggalkan Kewajiban dengan Dalih Uzlah
Ketika seseorang gundah atau murung, setan dengan mudah masuk ke dalam hati dan pikirannya, membisikkan berbagai hal yang berbahaya. Karena itu, jangan biarkan anak remaja murung berkepanjangan. Manusia sewajarnya memiliki masa gembira dan tersenyum. Jika sudah tidak bisa tersenyum lagi, itu tanda bahaya.
Dalam Islam, tersenyum adalah bagian dari kebaikan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Ada orang yang beranggapan bahwa terlalu serius dan tidak tersenyum adalah tanda kesungguhan dalam beragama. Padahal, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mencontohkan demikian. Beliau memiliki momen ketika menunjukkan rasa takut kepada Allah dan neraka, tetapi beliau juga memiliki momen tersenyum dan tertawa bersama sahabat serta keluarganya.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55574-ketika-remaja-tenggelam-dalam-kemurungan/